Sabtu, 02 Oktober 2010

Yuni rahmawati, K7109216,kelas 3B, Belajar Itu Butuh Proses

Sukses merupakan dambaan setiap manusia. Namun, untuk mewujudkannya diperlukan sebuah proses melalui usaha yang disebut belajar. Belajar tidak hanya dilakukan di lembaga-lembaga formal seperti sekolah dan berpusat antara siswa terhadap guru, melainkan juga dapat dilakukan dimana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja. Dimanapun seseorang berada, jika dia memiliki kemauan dia bisa belajar, entah itu di sekolah, di rumah, di jalan, atau bahkan di setiap tempat yang memiliki unsur-unsur kehidupan.

Saat seseorang baru lahir dan masih sangat tergantung pada orang lain, dia pun akan belajar seperti tengkurap, merangkak, duduk, berjalan, bicara hingga berlari. Hal itu tak dapat dilakukan seketika tanpa proses. Tatkala seseorang mulai memasuki bangku sekolah, dia akan melalui sebuah proses. Dimulai dari pendidikan di Playgroup, SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi. Jadi untuk memperoleh kesuksesan diperlukan kerja keras, keuletan, ketelatenan, serta kesabaran yang cukup tinggi.

Tantangan dunia semakin berat, persaingan makin ketat, dimana setiap orang menginginkan sebuah kesuksesan, berlomba-lomba merebut kekuasaan, kedududukan, dan mengeruk harta kekayaan secara cepat, makhluk terkutuk pun mulai beraksi. Yaah….melalui bisikan-bisikan yang dapat melelapkan manusia dengan kesenangan-kesenangan sesaat, pikiran manusia mulai dicemari oleh syetan. Tak sedikit dari manusia-manusia itu yang menggunakan kecurangan untuk mendapatkan segalanya secara cepat. Contoh kecil saja yang kini telah merebak di kalangan pelajar Indonesia yaitu budaya belajar yang keliru. Belajar untuk memperoleh nilai dan ijazah. Jika nilai ijazah mereka bagus, tentu akan mudah untuk mencari pekerjaan. Dari keliruan persepsi tersebut maka berlomba-lombalah seseorang untuk memperoleh nilai yang bagus bahkan tak jarang dari mereka menggunakan segala cara untuk mendapatkannya. Mereka tak peduli cara tersebut salah atau benar. Salah satu cara yang telah membudaya itu adalah mencontek. Sadarkah mereka bahwa sebenarnya mereka telah menipu banyak pihak termasuk dirinya sendiri????????? Jika hal ini ditanyakan, mereka dengan simple dan santai akan menjawab,”Untuk memperoleh nilai bagus dan membanggakan orangtua.” Begitulah pikiran lugu mereka. Faktor yang melandasi jawaban tersebut mungkin karena orang tua yang terlalu sibuk dan jarang atau bahkan tak pernah membimbing untuk sekadar menemani saat belajar. Yang orangtua tahu adalah mencari banyak uang untuk masa depan anak-anaknya, untuk pendidikannya dan ketika anaknya lulus ujian dengan nilai bagus, mereka akan bangga tanpa peduli benarkah nilai itu hasil dari kemampuan belajar anak itu sendiri?? Hemmmm…sungguh memprihatinkan. Bisa dibilang anak-anak seperti itu adalah korban kurang kasih sayang dan bimbingan dari orangtua. Padahal, orangtua merupakan sponsor sekaligus motivator utama bagi sang anak. Jangan terlalu memaksakan kehendak seperti,”sekolah harus mendapatkan nilai bagus” tapi tanpa bekal moral yang cukup sehingga membuat sang anak nekat melakukan segala cara untuk mewujudkan keinginan orangtuanya dan melupakan sebuah proses yang sangat berguna untuk memperkaya pengalaman belajarnya.

Seorang guru juga tidak berhak mengatakan bahwa siswa yang nilainya jelek itu bodoh. Secara tak langsung itu akan membuat siswa down atau patah semangat. Ingat! Belajar itu butuh proses. Setiap anak memiliki kecepatan proses yang berbeda-beda. Ada yang cepat, ada pula yang lambat. Guru yang bijak akan lebih bangga pada siswa yang nilainya belum bagus tapi mau terus belajar, daripada siswa yang mendaptkan nilai bagus hasil mencontek. Mungkin si pencontek akan mendapatkan nilai yang bagus, namun dia takkan pernah memperoleh kepuasan dan tak pernah bisa mengukur kemampuannya sendiri. Pada saatnya nanti dia akan menuai apa yang dia lakukan karena kecurangan tak akan pernah menang. Mencontek adalah tindakan mematikan proses yang hannya akan melahirkan manusia troublemaker, bukan manusia kritis sang pemecah masalah. Kalau hal ini terus dibiarkan, kualitas pendidikan di Indonesia susah meningkat. Kesadaran dari berbagai pihak baik dari orangtua, pemerintah, guru, maupun pelajar itu sendiri merupakan kunci untuk menghentikan rayuan syetan tersebut. Terutama untuk guru yang akan mencetak para pelajar menjadi seorang ahli. Seorang guru harus berusaha menghindarkan para siswanya dari perbutan tak senonoh itu. Bagaimana caranya? Latihlah siswa untuk berpikir kritis, menganalisis, sehingga mampu memecahkan masalah. Jangan biasakan siswa belajar hanya menerima (mernghafal), tetapi biasakan mencari melalui analisis untuk mencapai sebuah pemahaman itu lebih penting. Dengan begitu, proses akan mengiringi keberhasilannya. Jadi, menilai sesuatu bukan hanya dari output yang kadang menipu, tapi lihat bagaimana prosesnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar