Selasa, 14 September 2010

Nur Khasanah / K 7109142 / III B

ARTIKEL INOVASI PEMBELAJARAN

Menggagas Sekolah Model

Pemerintah pernah mencanangkan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun, education for all, school based management yang dibarengi dengan sejumlah inovasi pembelajaran yang menggunakan kata berbasis (pendidikan berbasis masyarakat, pendidikan berbasis internet, kurikulum berbasis kompetensi, penilaian berbasis kelas, dll), dan berbagai program inovasi lainnya yang bermuara pada peningkatan mutu pendidikan.
Yang cukup aktual adalah penerapan kurikulum berbasis kompetensi yang dimasyarakatkan dengan sebutan Kurikulum 2004. Serangkaian permasalahan dalam penerapan KBK kemudian menjadi sebuah selubung yang dimainkan dengan cantik oleh stakeholders pendidikan, tanpa terkecuali. Proses pembelajaran yang bermakna dan integrasi penilaian yang mencakupi ranah kognitif, afektif, dan psikomotor menjadi ciri khas dalam penerapan KBK. Sudahkah demikian?
Pengisian rapor ala KBK dengan angka puluhan dengan sederet komponen yang membingungkan guru bisa menjadikan derita guru berkepanjangan. Simak saja pengisian rapor KBK untuk siswa SD. Setiap mata pelajaran memiliki lebih dari satu komponen yang harus dinilai. Secara keseluruhan seorang guru SD harus mengisi 26 komponen nilai puluhan yang tersebar ke dalam 8 mata pelajaran.

Tidak hanya itu, guru SD harus melakukan penilaian kualitatif setidaknya 9 aspek yang meliputi kedisiplinan dan tanggung jawab, kebersihan dan kerapian, kerja sama, kesopanan, kemandirian, kerajinan, kejujuran, kepemimpinan, dan ketaatan. Muncul pertanyaan sederhana, bagaimana guru SD mampu melakukan penilaian tersebut?

Agaknya pernerintah sudah menyiapkan seperangkat antisipasi manakala menggulirkan gagasan yang inovatif dengan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang bertajuk peningkatan mutu. Sosialisasi hasil penataran, workshop, studi banding, dan sejenisnya menjadi program unggulan tatkala sebuah gagasan baru mengemuka. Secara proses, penyampaian gagasan inovatif sudah dilaksanakan sesuai dengan program dan berjenjang sampai pada tataran pelaksana lapangan.

Griffin dan Mooehead (1986) mengatakan, sebuah gagasan inovatif akan terwujud apabila ada perubahan persepsi, suasana, dan makna. Ketiga hal tersebut perlu dipahami guru dengan merefleksi diri khususnya dalam menerapkan pembelajaran bermakna.

Persoalan yang muncul kemudian adalah pada tahap aplikasi. Ada kecenderungan stakeholders pendidikan kurang memberikan respon positif terhadap upaya pembaruan tersebut. Masih segar dalam ingatan, penerapan School Based Management di sekolah-sekolah negeri. Sudahkah gagasan otonomi sekolah tersebut merakyat? Atau hanya jadi slogan kebanggaan saja? Adakah konsekuensi logis terhadap sekolah yang belurn dan enggan menerapkan berbagai inovasi pendidikan?

Beberapa daerah memaknai berbagai upaya peningkatan mutu pendidikan secara beragam. Dalam konteks pembelajaran yang bernuansa KBK di pendidikan dasar, ada daerah yang menyatakan siap melaksanakan KBK, namun ada juga sebagian yang belum siap menerapkan KBK setelah melakukan analisis SWOT.

Daerah yang belum menerapkan KBK tentunya belajar dari daerah yang sudah menerapkan KBK. Yang menjadi bahan renungan adalah apa yang akan diperoleh saat belajar dari daerah "cerdas" kalau pemaknaan terhadap KBK belum holistik.
Bagai buah simalakama, itulah sebenarnya potret berbagai inovasi pendidikan yang digulirkan pemerintah. Satu program belum dievaluasi secara komprehensif, sudah muncul program lain. Ironisnya, guru "dipaksa" untuk mengatakan keberhasilan setiap program dengan dukungan data yang berbeda dengan realita.
Ibarat membangun rumah, kita mulai dari salah sudut ruangan. Saat ruangan itu belum selesai, kita harus membangun sudut ruangan lain secara bersama. Begitulah seterusnya, sampai kita lupa sudut ruangan yang belum selesai kita buat lantaran roboh kita tinggalkan.
Perumpamaan di atas setidaknya dapat dijadikan refleksi para penyelenggara pendidikan untuk merumuskan pemikiran cerdas agar konsep inovasi pendidikan dapat diterapkan secara benar.
Sekolah model dapat dibentuk di setiap kecamatan dengan memperhatikan berbagai hal, di antaranya kondisi fisik sekolah, ketersediaan sarana prasarana, siswa, guru, kepala sekolah, dan komite sekolah. Setiap kecamatan, tentunya ada salah satu SD yang memenuhi kriteria tersebut. Langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh cabang Diknas kecamatan untuk membentuk sekolah model, yakni: pertama, menentukan SD yang letaknya strategis. Penentuan lokasi juga memperhatikan kondisi fisik, ketersediaan sarana prasarana pembelajaran, dan jumlah siswa yang ideal (40 siswa per kelas). Langkah ini dimaksudkan untuk memudahkan transportasi dan komunikasi. Selebihnya, sekolah lebih terkonsentrasi dalam menerapkan inovasi.
Kedua, mengatur tenaga pengajar. Tempatkan guru-guru yang memiliki idealisme, dedikasi, dan komitmen yang tinggi dalam menjalankan tugas. Dalam konteks ini, mutasi perlu dilakukan agar sekolah yang dijadikan model didukung oleh sumber daya yang berkualitas.
Ketiga, merekrut kepala sekolah yang cerdas dalam melaksanakan perannya sebagai pendidik, manajer, administratif, supervisor, pemimpin, kreatif dan mampu menjadi penggerak. Optimalisasi peran kepala sekolah tentunya akan mendukung upaya peningkatan mutu pendidikan. Menempatkan kepala sekolah yang berani menindakkritisi setiap fenomena aktual dalam bidang pendidikan dengan aktivitas nyata, perlu dilakukan agar terjadi konsistensi antara harapan dan kenyataan.
Hasil penelitian Gibson (1988) menunjukkan keberhasilan sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan banyak ditentukan oleh kapasitas kepala sekolahnya, di samping guru-guru yang memiliki komitmen tinggi dalam tugas.
Keempat, mengoptimalkan peran komite sekolah sebagai badan pertimbangan (advisory agency), pendukung (supporting agency), pengawas (controlling agency), dan mediator berbagai kebijakan pendidikan. Hal ini perlu dilakukan karena ada kesan komite sekolah masih sama dengan BP3 tempo dulu. Pelibatan komite sekolah secara nyata dalam kegiatan sekolah akan mendukung terwujudnya sekolah model yang nantinya akan menjadi pusat mutu (center for excellence).
Serangkaian langkah dalam perumusan sekolah model bukan harga mati. Namun, setidaknya empat komponen tersebut komponen yang paling dominan dalarn mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Terwujudnya sekolah model akan mengurangi keterkejutan dan keheranan guru akan keberhasilan inovasi pendidikan. Konsekuensi logis sekolah model adalah dijadikannya ujicoba berbagai inovasi pendidikan. Di sekolah model inilah, gagasan ideal berbagai inovasi dilaksanakan. Dengan demikian, guru-guru tidak perlu bersusah payah studi banding ke daerah lain apabila di sekolah model sudah menerapkannya.
Bila guru bertanya dan hendak belajar mengenai pembelajaran bermakna ala KBK, sekolah model mampu memberikan pencerahan. Berkembangnya sekolah model di tiap-tiap kecamatan, secara evolusif akan membantu pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Sudah barang tentu untuk mencapainya dalam kondisi ideal memerlukan pentahapan yang panjang. Seperti dikemukakan Supriadi (2002) bahwa orang yang mendalami teori difusi inovasi akan segera tahu bahwa setiap perubahan atau inovasi dalam bidang apa pun, termasuk dalam pendidikan, memerlukan tahap-tahap yang dirancang dengan benar sejak ide dikembangkan hingga dilaksanakan.
Mewujudkan sekolah model sebagai grass root dan pioner penerapan inovasi pendidikan tidak semudah membalikan telapak tangan. Oleh karena itu dibutuhkan keberanian dalam menata sistem pendidikan secara holistik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar