Minggu, 12 September 2010

RITA RETNOSARI (K7109165)

LOG 1 => Rabu, 25 Agustus 2010
penjelasan tentang mata kuliah inovasi pembelajaran serta mencari literatur(sumber) mengenai mata kuliah tersebut. Selain itu disebutkan bahwa seorang memiliki pikiran yang inspiratif yang mampu menstimulasi muridnya untuk "MAU BELAJAR". Serta memahami bahwa sekolah bukanlah utuk mengumpulkan ilmu tapi mengasah cara memperoleh ilmu tersebut. Guru yang baik yaitu guru yang mampu mencetak peserta didknya(meraih cita2nya) dalam jangka panjang.

LOG 2 => Selasa,31 Agustus 2010
tentang apa itu Inovasi Pembelajaran Baru itu menurut siapa dan Apakah sesuatu yang baru mesti bermanfaat? Apakah yang baru mesti lebih baik? Jadi pembelajaran yang bagaimana yang baik itu? semua pertanyaan2 itu terangkum dalam film 3 idiot. kita menonton film 3 idiots kemudian menganalisa intisari film tsb (baik & butuknya) serta implikasinya!

Analisa film "3 IDIOTS"
Dalam film 3 idiots ini banyak sekali pelajaran yang dapat dipetik. Film ini menceritakan mahasiswa yang kuliah di Perguruan tinggi ternama di India. 3 idiots merupakan sebutan untuk 3 orang mahasiswa yang dinggap "bodoh sekali" oleh dosennya, namun pada kenyataanyya 3 orang mahasiswa itu yang akhirnya mendobrak sistem pendidikan yang "salah kaprah" di universitas tersebut. Di Film itu, seorang Rektor yang merasa "memiliki kekuasaan penuh" sangat bersikap otoriter terhadap mahasiswanya.Dengan tekad dan semangat yang kuat ke 3 mahasiswa itu menentang DOSEN DAN REKTOR,mereka pun bisa membuktikan bahwa kesuksesan tercapai tidak dg 1 jaln, tetapi masih banyak jalan untuk meraih kesuksesan itu!!!.pada intinya, model belajar bukanlah sesuatu yang harus dipaksakan kpd muriD, sebab setiap murid memiliki karakter yang berbedabeda serta cara beljarnyapun berbeda-beda.Setiap individu berhak menentukan "jalan hidupnya/cita2" sendiri. Sebagai orang tua, guru, maupun kerabat hanya sebagai motivator dan mendoakan agar mereka dapat merealisasikan keinginan yang terbaik untuk dirinya dan kehidupannya dalam jangka wktu yang panjang.

10 implikasi pembelajaran yang dapat diambil:
1. Belajar bukanlah hafalan, tapi pemahaman
2. Model belajar tidak harus monoton, banyak cara belajar yang memudahkan anak ( misal dg menonton film)
3. siswa berani mengubah sistem belajar
4. tidak mudah menyerah dalam belajar
5. apapun yang dilakukan harus sesuai dg hati, bukan krn terpaksa
6. saling memotivasi teman untuk mau belajar
7. mengarahkan teman untuk meraih cita-citanya.
8. terus belajar,gunakan waktu dengan efisien maka kesuksesan akan mengikuti kita
9. spirit dari orang tua, guru, dan teman sangat mendukung belajar
10. DON'T JUDGE SOMEONE FROM THE COVER!!!!don't talk that people IDIOT!

10 KEJELEKAN DARI FILM 3 IDIOTS :

1. Seorang pemimpin yang sangat otoriter
2. terlalu vulgar untuk di tonton anak usia dini ( tidak disensor )
3. egois dalam mengajar
4. selalu memaksakan kehendak kpd siswa
5. belajar dg cara yang monoton (DDCH)
6. terlalu menyombongkan diri dan tidak menghargai orang lain
7. pembunuhan karakter thd pendidik, terlalu mengekspos sikap pembangkangan siswa thd guru
8. mengambil ijazah orang lain untuk jalan kesuksesan
9. mengurungkan potensi anak yang sebenarnya bisa dipupuk agar lbh baik.
10. men"judge" seseorang idiot padahal dirinya sendiri tdk bs melakukannya.

ARTIKEL INOVASI PEMBELAJARAN
Keunggulan suatu bangsa tidak lagi bertumpu pada kekayaan alam, melainkan pada keunggulan sumber daya manusia (SDM), yaitu tenaga terdidik yang mampu menjawab tantangan-tantangan yang sangat cepat. Sejumlah pembicara dalam berbagai seminar, diskusi atau tulisan di media masa mengisyaratkan bahwa, secara keseluruhan, mutu SDM Indonesia saat ini masih ketinggalan dan berada di belakang SDM negara-negara maju dan negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Thailand.
Kenyataan ini sudah lebih dari cukup untuk mendorong pakar dan praktisi pendidikan melakukan kajian sistematik untuk membenahi atau memperbaiki sistem pendidikan nasional dengan melihat dari sisi guru. Sebagai salah satu komponen dalam kegiatan belajar mengajar (KBM), guru memiliki posisi yang menentukan keberhasilan pembelajaran, karena fungsi utama guru ialah merancang, mengelola, dan mengevaluasi pembelajaran. Gagne (1974) dalam Degeng (1989) mengatakan bahwa guru bertugas mengalihkan seperangkat pengetahuan yang terorganisasikan sehingga pengetahuan itu menjadi bagian dari sistem pengetahuan siswa. Sejalan dengan itu pula, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menegaskan bahwa kedudukan guru dalam kegiatan belajar mengajar sangat strategis dan menentukan. Strategis karena guru akan menentukan kedalaman dan keluasan materi pelajaran. Menentukan karena gurulah yang memilah dan memilih bahan pelajaran yang akan disajikan kepada siswa. Salah satu faktor yang mempengaruhi guru dalam upaya memperluas dan memperdalam materi ialah rancangan pembelajaran yang efektif, efisien, menarik, dan hasil pembelajaran yang bermutu tinggi dapat dilakukan dan dicapai oleh setiap guru.
Berdasarkan pengamatan, guru di lapangan jarang memanfaatkan fungsi ini secara optimal. Kondisi ini disebabkan oleh kenyataan bahwa tugas yang diemban guru sebagai perancang pembelajaran adalah sangat rumit, karena berhadapan dengan dua variabel di luar kontrolnya, yaitu cakupan isi pembelajaran yang telah ditetapkan terlebih dahulu berdasarkan tujuan yang akan dicapai, dan siswa yang membawa seperangkat sikap, kemampuan awal, dan karakteristik perseorangan lainnya ke dalam situasi pembelajaran.
Guru hanya berpeluang untuk memanipulasi strategi atau metode pembelajaran di bawah kendala karakteristik tujuan pembelajaran dan siswa. Hal ini diakui oleh Reigeluth,(1983) Degeng (1989) menyatakan bahwa pada hakekatnya hanya variabel metode pembelajaran yang berpeluang besar untuk dapat dimanipulasi oleh setiap guru dan perancang pembelajaran. Senada dengan itu (Suhardjono, 2004 ; 57) mengatakan hasil belajar siswa dipengaruhi oleh banyak faktor, banyak diantara pengaruh itu diluar kendali guru.
Dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar, pada umumnya guru menggunakan metode secara sembarangan. Penggunaan metode secara sembarangan ini tidak berdasarkan pada analisis kesesuaian antara tipe isi pelajaran dengan tipe kinerja (performansi) yang menjadi sasaran belajar. Padahal keefektifan suatu metode pembelajaran sangat ditentukan oleh kesesuaian antara tipe isi dengan tipe performansi. Gagne dan Briggs (1979) dalam Degeng (1989) mengatakan bahwa suatu prestasi belajar memerlukan kondisi belajar internal dan kondisi belajar eksternal yang berbeda. Suatu metode pembelajaran seringkali hanya cocok untuk belajar tipe isi tertentu di bawah kondisi tertentu. Hal ini berarti bahwa untuk belajar tipe isi yang lain di bawah kondisi yang lain, diperlukan metode pembelajaran yang berbeda.
Mari kita tengok realitas di lapangan, ternyata praktik-praktik pembelajaran cenderung masih mengabaikan gagasan, konsep dan kemampuan berpikir siswa. Aktivitas guru lebih menonjol daripada siswa, dan terbatas pada hafalan semata. Pembelajaran masih bersifat ekspositoris, sehingga belum mampu membangkitkan budaya belajar ‘learning how to learn’ pada diri siswa. Hal ini disebabkan masih dianut asumsi bahwa siswa dalam keadaan "pikiran kosong" (blank mind) atau tabularasa.
Mencoba melihat kondisi sekarang sekolah masih dianggap suatu aktifitas yang menyenangkan oleh sebagian siswa justru di luar jam pelajaran tetapi jika di dalam jam pelajaran adalah suatu aktifitas yang membebani. Belum ada penelitian yang khusus mengkaji tentang hal tersebut, tetapi sepanjang pengamatan penulis, jika para siswa berada di kelas mereka inginnya keluar kelas atau pulang, jika ada pengumuman pulang pagi, atau libur, mereka akan bersorak sorai, seolah terlepas dari beban berat yang menghimpit. Hal serupa juga terjadi pada diri peneliti dan mungkin guru yang lain. Pergi ke sekolah bukan lagi sebagai kegiatan yang diidam-idamkan dan cenderung menjadi rutinitas. Seharusnya guru menurut (Elizabeth, 1993) Jika mungkin siswa harus diberi pilihan dan tanggung jawab atas pendidikan mereka sendiri.
Rubiarto (2006) dalam makalahnya Paradigma Pendidikan Masa Depan. Ada lima karakter kerja guru. Kelima karakter tersebut adalah pertama, pekerjaan guru bersifat individualistis non colaboratif, kedua dilakukan dalam ruang terisolir dan menyerap seluruh waktu, ketiga kemungkinan terjadinya kontak akademis antar guru rendah, keempat tidak pernah mendapatkan umpan balik, dan kelima pekerjaan guru memerlukan waktu untuk mendukung waktu kerja di ruang kelas . Senada dengan itu (Budiningsih, 2002) mengemukakan alasan mengapa guru sulit melakukan perubahan antara lain pertama, guru sering tidak jelas mengerti apa isi kurikulum baru ataupun perubahan yang diinginkan. Kedua, banyak guru meragukan perubahan atau pembaruan yang ada. Ketiga banyak guru lama telah bertahun-tahun terbiasa dengan cara mereka yang mapan dan sudah merasa enak. Keempat, moral guru sebagai tukang yang pasif dan menanti. Kelima penghargaan guru yang kecil. Keenam, pendidikan guru yang statis. Ketujuh, tugas guru dipahami sebagai konservatif. Kedelapan, menjadi guru karena terpaksa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar